Sabtu, 06 Maret 2021

Materi Budaya Banyumasan Semester 2

 TATA KRAMA BERMASYARAKAT

 

              Tata krama adalah aturan bertingkah laku yang santun dalam berhubungan dengan orang lain.

A.        Tata Krama di Kantor Kecamatan

Berikut tata krama kita berada di kantor kecamatan:

a.         Berpakaian sopan dan besikap ramah.

b.        Masuk keluar lewat pintu yang ditentukan.

c.         Pahami petunjuk yang ada.

d.        Ketuk pintu bila masuk ruangan dan berilah salam.

e.        Bertanya kepada petugas bila membutuhkan keterangan.

f.          Duduk dengan tertib untuk menunggu giliran.

g.         Jangan mendahului orang yang telah hadir terlebih dahulu.

h.        Jangan minta dilayani terlebih dahulu walaupu petugas pelayanan saudara kita.

i.           Ucapkan terima kasih jika sudah mendapat pelayanan.

j.          Jangan membuang sampah atau meludah sembarangan.

k.         Jangan membuat coretan di tempat duduk.

B.        Tata Krama di Rumah Sakit

1.    Tata Krama Ketika berobat

Ketika berobat kita perlu memperhatikan :

a.    Berpakaian bersih, rapi, dan sopan

b.   Bersikap ramah dan berbicara dengan baik

c.    Masuk keluar lewat pintu yang ditentukan

d.   Pahami petunjuk yang ada.

e.    Tanyakan kepada petugas sekiranya belum jelas.

f.     Duduk atau berdiri dengan tertib di tempat yang ditenyukan.

g.    Antre dengan tertib.

h.   Ucapkan terimakasih setelah mendapat pelayanan.

i.      Tidak membuang samp[ah sembarangan.

2.    Tata Krama Besuk

Tata krama saat membesuk di rumah sakit, kita perlu memperhatikan :

a.    Berpakaian bersi, rapi, dan sopan.

b.   Bersikap ramah dan berbicara dengan sopan.

c.    Masuk dan keluar lewat pintu yang telah ditentukan.

d.   Tanyakan kepada petugasvsekiranya belum jelas.

e.    Berkunjung pada waktu yang telah ditentukan.

f.     Jangan membawa anak di bawah umur.

g.    Jangan menimbulkan kegaduhan yang mengganggu pasien.

h.   Jangan berbicara hal-hal yang menakutkan.

i.      Jangan merokok dan melakukan sesuatu yang mengganggu pasien

C.        Tata Krama di Bank

Tata krama saat berada di bank antara lain:

1.        Berpakaian sopan dan besikap ramah.

2.        Pahami petunjuk yang ada.

3.        Masuk atau keluar lewat pintu yang sudah disediakan.

4.        Ketuk pintu bila masuk dan berilah salam.

5.        Mintalah penjelasan kepada petugas bila membutuhkan keterangan.

6.        Duduk dengan tenang dan tertib.

7.        Ante sesuai dengan urutan atau giliran.

8.        Ucapkan terima kasih setelah mendapat pelayanan.

9.        Berbicara dengan sopan, tidak menggganggu orang lain.

10.    Hitunglah jumlah uang sebelum meninggalkan loket.

11.    Simpanlah uang baik-baik atau surat berharga yang diterima.

12.    Jangan merokok di ruang ber AC.

13.    Jangan membuang sampah sembarangan.

 

 

 

BABAD PASIR LUHUR

A       Babad Pasir Luhur: Raden Kamandaka

Raden Kamandaka

     Pada zaman dahulu, berdiri sebuah kerajaan bernama Kerajaan Pajajaran. Saat itu, Kerajaan Pajajaran sedang dipimpin oleh raja yang bernama Prabu Silihwangi. Prabu Silihwangi mempunyai dua orang istri dan empat orang anak. Anak dan istri pertama bernama Raden Banyakcatra dan Raden Banyakngampar. Sementara, anak dan istri kedua bernama Raden Banyakblabur dan Retno Pamekas.

     Saat usia Prabu Silihwangi semakin lanjut, ia ingin menetapkan Pangeran Pati sebagai penggantinya dengan syarat Pangeran Pati harus sudah memilki istri. Sebagai putra tertua Prabu Silihwangi, Raden Banyakcatra ditunjuk sebagai pengganti. Namun, karena Raden Banyakcatra belum memiliki istri, Raden Banyakcatra pun harus mencari calon istri.

     Raden Banyakcatra memohon izin kepada ayahnya untuk berkelana mencari calon istri dan tidak akan pulang sebelum menemukannya. Dia tidak mau calon istrinya dipilihkan oleh siapapun. Ia ingin mencari calon istri yang memiliki sifat penuh kasih sayang dan berparas cantik seperti ibunya. Setelah mendapatkan izin, Raden Banyakcatra pergi ke arah timur. Tak lupa, ia membawa persediaan dan bekal secukupnya. Setelah beberapa lama, Raden Banyakcatra akhirnya tiba di suatu padepokan yang dimiliki oleh Ki Ajar Wirangrong. Ki Ajar Wirangrong menyarankan kepada Raden Banyakcatra untuk meneruskan perjalanan ke arah timur dan mengganti namanya menjadi Raden Kamandaka.

     Setelah berjalan beberapa lama, Raden Kamandaka akhirnya tiba di Kadipaten pasir Luhur. Di Kadipaten Pasir Luhur, Raden Kamandaka mengabdi kepada Patih Reksanata. Rupa raden Kamandaka yang tampan dan gagah, sikapnya yang sopan, bertanggung jawab, berbudi pekerti luhur, dan kesatria membuat Patih Reksanata mengangkat Raden Kamandaka sebagai anaknya.

     Suatu hari, Kadipaten Pasir Luhur mengadakan lomba menangkap ikan di kolam.  Perlombaan diikuti masyarakat Kadipaten Pasir Luhur, termasuk Raden Kamandaka. Saat itu, Sang Adipati Pasir Luhur dan putrinya, Dewi Ciptarasa, turut menonton perlombaan terebut. Mereka memperhatikan gerak-gerik para peserta lomba. Gerak-gerik raden Kamandaka membuat Dewi Ciptarasa tertarik. Suatu hari, Dewi Ciptarasa mengutus abdinya untuk memanggil Raden Kamandaka ke Taman Kaputren. Pertemuan tersebut membuat Raden Kamandaka dan Dewi Ciptarasa menjadi sering bertemu.

Lambat laun, hal ini diketahui oleh Sang Adipati. Beliau akhirnya memerintahkan para prajuritnya mengepung Taman Kaputren untuk menangkap Raden Kamandaka. Dalam pengepungan tersebut, Raden Kamandaka berhasil meloloskan diri dan bersembunyi. Kegagalan menangkap Raden Kamandaka membuat Sang Adipati marah, beliau akhirnya mengutus Patih Reksanata dan Ki Wiragusta untuk mencari Raden Kamandaka.

Setelah beberapa lama, persembunyian Raden Kamandaka diketahui oleh para prajurit Sang Adipati. Terjadilah pertempuran sengit yang tidak seimbang. Hasil dari pertempuran tersebut mmembuat Raden Kamandaka harus menceburkan diri ke Sungai Logawa. Tempat Kamandaka menceburka diri terus dilempari batu hingga menjadi dangkal. Oleh karena Raden Kamandaka tidak kunjung muncul ke permukaan, para prajurit melaporkan kepada Sang Adipati bahwa Raden Kamandaka telah meninggal. Laporan tersebut membuat Sang Adipati senang, namun membuat hati Dewi Ciptarasa bersedih. Tempat tersebut kemudian dinamakan “Kedung Petahunan”.

Raden Kamandaka ternyata masih hidup. Ia menyelam sampai di Surup lawang. Surup Lawang adalah pertemuan antara Sungai Logawa dan Kali Serayu di Patikraja. Setelah itu, Raden Kamandaka berjalan ke arah utara hingga sampai di sebuah dusun. Di dusun tersebut, Raden Kamandaka singgah di rumah seorang wanita yang sudah tidak bersuami yang bernama Kertilasari. Kertilasari tidak mempunyai putra. Raden Kamandaka kemudian diangkat anak oleh Kertilasari.

 

 

Di dusun tersebut, kamandaka mendapatkan seorang teman bernama Ki Rekajaya. Kamandaka bersama Ki Rekajaya sering mengikuti pertandingan adu ayam. Kamandaka pun sering memenangkan adu tersebut. Ayam jago milik Kamandaka diberi nama Mercu. Kemenangan yang diperoleh Kamandaka membuat namanya terdengar hingga ke telinga Sang Adipati Pasir Luhur. Sang Adipati yang mendengar Kamandaka masih hidup menjadi sangt marah. Ia memerintahkan prajuritnya untuk menagkap Kamandaka.

Di tempat lain, Prabu Silihwangi merasa cemas karena putranya tidak kunjung pulang. Ian akhirnya mengutus Raden Banyakngampar ke Kadipaten Pasir Luhur untuk mencari kakaknya, Raden Banyakcatra atau Raden Kamandaka. Akhirnya Raden Banyakngampar meninggalkan kerajaan Pajajaran dan memakai nama samaran Raden Silihwarni. Sesampainya di Kadipaten Pasir Luhur, Raden Silihwarni mengabdikan diri kepada Adipati dan diangkat menjadi prajurit.

Sang Adipati memberikan tugas kepada Silihwarni untuk menangkap Kamandaka. Dalam pencariannya, Silihwarni menyamar sebagai pengadu ayam. Silihwarni kemudian bertemu dengan Kamandaka. Keduanya tidak saling mengenal karena sudah lama tidak bertemu. Sesaat sebelum pertandingan, keduanya menyiapkan ayamuntuk diadu. Silihwarni menyiapkan ayamnya dan memasangkan patrem (keris kecil) di sayap ayamnya. Ketika pertandingan dimulai, Silihwarni melemparkan ayamnya ke badan Kamandaka sehingga lambungnya terluka. Kamandaka marah dan terjadilah perkelahiandiantara keduanya. Tempat perkelahian tersbut kemudian diberi nama Pejogolan atau Pejogol, yang artinya tempat dorong- mendorong.

Kondisinya yang terluka membuat Kamandaka harus melarikan diri. Ia pun melarikan diri bersama Ki Rekajaya. Silihwarni terus mengejar hingga sampai di suatu temapt. Di tempat tersebut, perkelahian berlangsung siang dan malam sampai tidak ada waktu beristirahat. Tempat tersebut kemudian dinamakan Kober. Saat ada kesempatan, Kamandaka dan Ki Rekajaya bersembunyi dan menerobos hutan. Tempat persembunyian itu kemudian diberi nama Brobosan atau Bobosan.

Pencarian Kamandaka dilanjutkan dan menggunakan anjing pelacak untuk mencarinya. Oleh karena kesaktian Kamandaka, anjing pelacak tersebut dapat ditangkap dan dikurung. Kamandaka berpesan untuk memberi nama tempat tersebut dengan Kurung Anjing atau Karang Anjing. Setelah berhasil meloloskan diri, Kamandaka dan Ki Rekajaya terus melarikan diri dengan menelusuri sungai ke arah utara. Pengejaran tersebut dilakukan hingga sampailah Kamandaka dan Ki Reakajaya di sebuah batu basar. Raden Kamandaka kemudian meloncat ke atas batu tersebut. Silihwarni datang dan menghunuskan sebilah keris. Raden Kamandaka kemudian memantah Silihwarni.

“Hai, Silihwarni, prajurit Pasir Luhur. Naiklah ke atas! Ayo, lawanlah Raden Banyakcatra, putra Prabu Silihwangi dari kerajaan pajajaran!”

Mendengar ucapan Kamandaka, Silihwarni terkejut dan menangis. Ia tidak menyangka bahwa orang yang dikejarnya ternyata kakak kandungnya sendiri. Silihwarni meminta maaf dan mengajak Raden Kamandaka pulang ke Pajajaran. Tempat kedua pemuda tersebut saling manantang dinamakan Watu Sinom (batu dan muda)

Untuk memenuhi janjinya kepada Adipati Pasir Luhur, Silihwarni melakukan tipuan dengan menyembelih anjing yang dikurung dalam hutan. Hati, usus, dan darahnya dibungkus lalu diserahkan kepada Sang Adipati agar Adipati Pasir Luhur percaya bahwa Kamandaka sudah tewas. Raden Kamandaka meminta Ki Rekajaya untuk pulang ke rumah Nyi Kertilasari. Sementara, Raden Kamandaka dan Silihwarni kembali ke Kerajaan Pajajaran.

B        Babad Pasir Luhur: Lutung Kasarung

Sepulangnya Raden Banyakcatra dan Raden Banyakngampar ke Kerajaan Pajajaran, prabu Silihwangi berniat berhenti dari kerajaan dan meminta Raden Banyakcatra untuk menggantikannya. Namun, kaena Raden Banyakcatra belum memiliki istri Prabu Silihwangi mengambil keputusan dan mengatakan bahwa siapa saja yang membawa sepuluh orang putri kembar dialah yang akan menggantikan dirinya. Mendengarkan hal tersebut Raden Banyakblabur yang memiliki keinginan  untuk menjadi raja berikutnya, akhirnya pergi ke arah barat. Sementara, Raden Banyakcatra pergi ke arah timur ditemani abdinya yang setiya, yaitu Ki Kolot dan Ki Maung. Raden Bnayakcatra dan abdinya pergi menuju Kadipaten Pasir Luhur.

 Di Kadipaten Pasir Luhur, Raden Banyakcatra dan abdinya tinggal di lereng gunung Slamet, yaitu di Desa Baturagung. Suatu hari, Raden Banyakcatra mendengar suara gaib yang memerintahkannya untuk pindak ke Sawangan, tempat bertemunya Sungai Logawa dan Sungai Mengaji. Di sana, tempatnya di Goa Jatijajar, Raden Banyakcatra atau Raden Kamandaka bersemedi untuk memohon petunjuk kepada Tuahan Yang Maha Kuasa. Saat bersemedi, Raden Kamandaka mendapat wasiat sebuah pakaian. Jika pakaian itu di kenakan, Raden Kamandaka akan berubah menjadi Lutung. Daerah tempat goa Kamndaka bersemedi dinamakan Kebumen.

Suatu hari, Adipati Pasir Luhur berburu di hutan. Ia mendapatkan seekor lutung yang jinak. Lutung itu dibawa ke Kadipaten dan diberinama lutung kasarung. Adipati memerintahkan siapa yang  berhasil memberi makan lutung, ian berhak memeliharanya. Dari beberapa putri, ternyata Dewi Ciptarasa yang berhasil memberi makan lutung. Dewi Ciptarasa merasa senang karena dapat memelihara lutung. Lutung sangat setia kepada Dewi Ciptarasa. Suatu malam, Raden Kamandaka melepas pakaian ajaibnya. Dewi Ciptarasa melihat dan terkejut ketika mengetahui Raden Kamandaka selama ini menyamar sebagai lutung. Raden Kamandaka meminta Dewi Ciptarasa untuk merahasiakan hal ini.

Beberapa waktu kemudian, Dewi Ciptarasa dilamar oleh seorang raja yang kejam di Nusatembini, yang bernama Raja Pulebahas. Dewi Ciptarasa memberi syarat kepada Raja Pulebahas antara lain:

1.   Membawa kain mori sebanyak 40 kodi, sebagai tempat berjalan  calon pengantin putri.

2.   Dijemput 40 putri yang kembar.

3.   Mempelai laki-laki tidak boleh membawa senjata.

4.   Mempelai laki-laki harus menolong mempelai perempuan saat turun dari tandu.

5.   Tempat pertemuan penganti diperenpatan jalan Kadipaten Pasir Luhur.

Raja Pulebahas menyetujui syarat yang diberikan oleh Dewi Ciptarasa. Hari pernikahanpun tiba. Ketika Raja Pulebahas hemdak menolong Dewi Ciptarasa turun dari tandu, lutung kasarung meloncat dan menghunuskan pisau ke Raja Pulebahas. Raja Pulebahas pun meninggal. Prajurit Nusatembini marah dan mengancam akan menyerang Kadipaten Pasir Luhur. Sang Adipati kebingungan. Dewi Ciptarasa kemudian menjelaskan bahwa masalah ini dapat diatasi oleh Raden Banyakcatra. Adipati pun merasa tenang.

 

 

Dewi Ciptarasa kemudian dinikahkan dengan Raden Banyakcatra. Setelah pernikahan, Raden Banyakcatra pamit untuk pulang ke Kerajaan Pajajaran.

Sepulangnya Raden Banyakcatra ke Kerajaan Pajajaran, Prabu Silihwangi ternyata memilih Raden Banyakblabur sebagai penerus tahta. Raden Banyakcatra tidak dipilih karena memiliki luka di lambung akibbat terkena patrem adiknya dahulu. Raden Banyakcatra menerima keputusan Prabu Silihwangi dengan lapang dada.

Tidak lama, datanglah utusan dari Pasir Luhur yang melaporkan bahwa Kadipaten diserang oleh prajurit Nusatembini yang dipimpin oleh Adipati Juranghabas, pengganti Pulebahas. Raden Banyakcatra beserta istri dan adiknya meminta izin untuk kembali ke Pasir Luhur. Mereka kembali dengan membawa prajurit Pajajaran. Sesampainya di Pasir Luhur, segera terjadi pertempuran sengit antara prajurit Pajajaran dengan prajurit Nusatembini. Prajurit Nusatembini pun kalah. Pasir Luhur kembali aman. Dengan berakhirnya perang, Adipati Pasir Luhur semakin menaruh kepercayaan kepada Raden Banyakcatra. Raden Banyakcatra membawa prajurit Pajajaran kembali ke Kadipaten. Pertempuran antara prajurit Nusatembini dan prajurit Pajajaran pun terjadi. Pertempuran dimenagkan oleh prajurit Pajajaran. Adipati pun menyerahkan Kadipaten Pasir Luhur kepada Raden Banyakcatra. Raden Banyakcatra dinobatkan sebagai Adipati pasir Luhur. Adipati Banyakcatra memimpin Kadipaten Pasir Luhur dengan bijaksana. Kehidupan masyarakatpun menjadi aman, damai, dan sejahtera.

 

Setelah membaca teks ‘Lutung Kasarung” jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut!

1.       Apa yang didapatkan Raden Banyakcatra saat bersemedi di Kebumen?

2.       Tulislah syarat yang diajukan Dewi Ciptarasa kepada Raden Pulebahas!

3.       Bagaimana sifat Raden Banyakcatra saat ayahnya menyatakan dirinya tidak dapat menjadi raja?

4.       Apa nilai-nilai yang dapat kita teladani dari tokoh Raden Banyakcatra?

 

Rangkuman

1.     Babad Pasir Luhur menceritakan kisah Kadipaten Pasir Luhur yang berhubungan dengan Kerajaan Pajajaran

2.     Pada Babad Pasir Luhur, diceritakan kisah tentang perkawinan Raden Banyakcatra atau Kamandaka dengan Dewi Ciptarasa.

3.     Raden Banyakcatra merupakan putra dari Prabu Silihwangi yang berkelana mencari istri ke Kadipaten Pasir Luhur agar dapat menjadi penerus Prabu Silihwangi.

4.     Raden Banyakcatra mengganti namanya menjadi Raden Kamandaka.

5.     Berdasarkan perjalanan Raden Kamandaka saat mencari istri, terdapat beberapa desa yang terbentuk, yaitu Kedung Petahunan, Pejogol, Kober, Bobosan, Kurung Anjing, dan Watu Sinom.

6.     Raden Kamandaka bertapa dan mendapat wasiat sebuah pakaian. Dengan pakaian tersebut Raden Kamandaka menyamar menjadi lutung kasarung

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

MENELADANI SIFAT TOKOH WAYANG

A.         Tokoh Wayang dengan Sifat Baik

Wayang memiliki tokoh yang beragam. Setiap tokoh wayang memilki sifat yang berbeda. Sifat baik tokoh wayang sebaiknya kita tiru dan terapkan dalam kehidupan. Beberapa wayang yang memiliki sifat baik adalah sebagai berikut:

1.     Batara Kresna

Batara Kresna merupakan seorang raja titis dari Dewa Wisnu. Batara Kresna memimpin sebuah negara besar bernama Dwarawati. Batara Kresna berpegang pada undang-unadang dalam menjalankan pemerintahannya. Oleh sebab itu ia mampu menciptakan kehidupan yang aman, damai, tentram, dan sejahtera bagi rakyatnya.

Batara Kresna merupakan raja yang cerdas, suka menolong, dan berani membela kebenaran. Sifat tersebut membuat Batara Kresna mendapat sebutan lain, yaitu Raden Danardana, yang artinya seorang kesatria yang suka memberika pertolongan kepada sesama.

2.     Werkudara

Werkudara merupakan seorang kesatria pemberani. Ia berhasil menjaga negara Wirata dari serangan Raden Kencakaputra dan Raden Rupakenca. Werkudara juga berhasil merebut negara Astina dalam perang Baratayuda.

Werkudara memiliki sifat gemar menolong dan senantiasa mengamalkan kebaikan. Werkudara adalah penegak keadilan di negara Amarta. Werkudara menjalankan tugasnya dengan jujur dan adil sehingga rakyat Amarta dapat hidup dengan aman dan sejahtera. Werkudara juga sangat taat kepada gurunya, Pandhita Durna. Ia selalu patuh dan menjalankan tugas dari sang guru. oleh sebab itu, Werkudara diberikan air suci “Tirta Pawirta Suci”. Air pawirta suci merupakan air kehidupan dari Dewa Ruci.

3.     Bambang Wisanggeni

Wisanggeni merupakan anak dari Raden Arjuna dan seorang bidadari dari kayangan bernama Dewi Dresnala. Oleh sebab itu, Wisanggeni dianggap sebagai manusia setengah dewa.

Wisanggeni memilki sifat bijaksana, jujur, dan rela berkorban. Ia rela berkorban untuk kejayaan dan kebahagiaan orang tuanya. Tindakan dan pemikirannya pun selalu menghasilkan kebaikan.

B.          Tokoh Wayang dengan Sifat Buruk

Ada juga beberapa tokoh wayang yang memiliki sifat buruk. Namun sifat-sifat buruk tersebut tidak boleh kita tiru. Berikut beberapa tokoh wayang yang memiliki sifat buruk.

1.   Patih Harya Suman (Sengkuni)

Harya Suman merupakan seoarang patih di negara Astina. Harya Suman disebut juga Sengkuni. Harya Suman memiliki sifat licik, kejam dan suka memfitnah. Ia memengaruhi orang lain agar bermusuhan (adu domba). Ketika menjadi patih di Negara Astina Harya Suman menggunakan kelicikan dan tipu daya untuk mempengaruhi Kurawa agar bermusuhan dengan Pandawa

2.   Dursasana

Dursasana merupakan putra dari Raja Destarasta. Dursasana memiliki sifat sombong, berlaku semena-mena, dan juga tamak. Sifat-sifat tersebut sesuai dengan namanya Dur berarti jahat, sedangkan Sasana berarti hati. Nama Dursasana berarti orang yang berhati jahat. Semasa hidupnya, Dursasana melakukan kegiatan buruk dan menghamburkan uang negara. Ia merasa sebagai anak raja yang dapat berbuat semena-mena kepada orang lain.

 

 

 

CAGAR BUDAYA DI BANYUMAS

            Cagar budaya merupakan warisan budaya yang bersifat kebendaan, seperti bangunan peninggalan sejarah. Banyumas memiliki beragam cagar budaya yang masih dijaga kelestariannya hingga saat ini.

                                    Ragam Cagar Budaya di Banyumas

            Daerah Banyumas memiliki sejarah yang menarik untuk dipelajari. Sejarah ini tertuang pada beberapa cagar budaya yang ada di Banyumas. Cagar budaya tersebut masih terjaga kelestariannya hingga saat ini. Berikut beberapa cagar budaya yang ada di Banyumas.

a.       Masjid Saka Tunggal

Masjid Jami Baitussalam Cikakak atau yang lebih dikenal dengan nama Masjid Saka Tunggal merupakan masjid tertua yang ada di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Masjid Saka Tunggal dibangun sekitar abad 12 Masehi oleh Kiai Mustolih. Nama masjid ini berasal dari jumlah saka guru atau tiang utama yang ada pada masjid. Masjid ini berdiri kokoh walau hanya memiliki satu tiang utama yang menopang bangunan.

b.       Situs Watu Guling

Situs Watu Guling berada di Desa Datar, kabupaten Banyumas. Menurut sejarah, nama watu guling berasal dari batu yang ditendang oleh Bima dan kemudian terjatuh berguling-guling hingga berhenti di daerah yang datar. Daerah ini kemudian diberi nama Desa Datar. Pada mulanya, Situs Watu Guling merupakan punden berundak yang digunakan sebagai tempat pemujaan roh nenek moyang pada zaman prasejarah. Beberapa peninggalan sejarah pada Situs Watu Guling, antara lain batu menhir dan batu lumping.

c.       Pendopo Si Panji

Pendopo Si Panji merupakan rumah atau pendopo Kabupaten Banyumas yang dibangun oleh Bupati Yudonegoro III pada tahun 1706. Pada mulanya, Pendopo Si Panji dibangun di kota Banyumas. Namun, ada pemindahan ibu kota dari banyumas ke Purwokerto, menyebabkan Pendopo Si Panji juga ikut dipindahkan ke Purwokerto. Hingga saat ini, Pendopo Si Panji masih digunakan sebagai kantor pemerintah Kabupaten Banyumas.

 

                                    Cagar Budaya Masjid Saka Tunggal

            Masjid Saka Tunggal merupakan salah satu cagar budaya di Kabupaten Banyumas. Masjid Saka Tunggal terletak di Desa Cikakak, Banyumas, Jawa Tengah. Masjid Saka Tunggal dibangun pada tahun 1288. Tanggal pembangunan Masjid Saka Tunggal tertulis pada saka guru (tiang utama). Masjid ini disebut saka tunggal karena hanya memiliki satu tiang penyangga.

            Masjid Saka Tunggal memiliki kaitan yang erat dengan Kiai Mustolih. Kiai Mustolih adalah tokoh penyebar agama Islam di Desa Cikakak pada masa Kesultanan Mataram Kuno. Kiai Mustolih juga merupakan pendiri Masjid Saka Tunggal. Ia menjadikan Masjid Saka Tunggal sebagain pusat penyiaran agama islam di Desa Cikakak.

            Masjid Saka Tunggal memiliki karakteristik unik. Beberapa karakteristik yang menjadi keunikan dari Masjid Saka tunggal adalah sebagai berikut:

1.     Mimbar khotbah memiliki ukiran bergambar sinar matahari yang mirip lempeng mandala. Ukiran ini banyak ditemukan pada benda atau bangunan peninggalan Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit.

2.     Atap masjid terbuat ijuk kelapa berwarna hitam.

3.     Saka utama memiliki empat sayap yang melambangkan “papat kiblat lima pancer” atau empat arah mata angin dan satu pusat.

4.     Masjid memiliki satu saka (tiang utama). Saka terbuat dari sebongkah kayu berukuran 5 meter dengan diameter 30 cm. Saka ini melambangkan bahwa manusia harus berperilaku baik.

5.     Beduk, lampu gantung, dan mimbar masih berfungsi dengan baik hingga saat ini.

6.     Di sekitar Masjid Saka Tunggal terdapat ratusan kera. Kera-kera tersebut sangat akrab dengan pengunjung masjid.

 

 

TRAH BONOKELING

A.      Trah Bonokeling dan Anak Putu Trah Bonokeling

Anak putu trah Bonokeling merupakan masyarakat keturunan Kiai Bonokeling serta masyarakat yang meyakini ajaran Bonokeling. Anak putu trah Bonokeling tersebar dibeberapa wilayah di Banyumas.

                        Anak Putu Trah Bonokeling

Anak putu trah Bonokeling merupakan sekelompok masyarakat keturunan Kiai Bonokeling. Kiai Bonokeling merupakan seorang tokoh masyarakat yang berasal dari Kadipaten Pasir Luhur. Kiai Bonokeling meninggalkan Kadipaten Pasir Luhur untuk menetap di Desa Pekuncen. Menurut sejarah, ia pindah ke Desa Pekuncen untuk membuka lahan pertanian. Kiai Bonokeling merupakan salah satu penyebar agama islam di Banyumas bagian selatan.

Anak putu trah Bonokeling bermukim di Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Cilacap. Saat ini anak putu trah Bonokeling dipimpinoleh Kyai Kunci. Kyai Kunci merupakan pemimpin tertinggi anak putu trah Bonokeling yang bertanggung jawab untuk mengayomi dan melestarikan tradisi lokal. Kyai Kunci dipilih melalui musyawarah yang dilakukan oleh seluruh anak putu trah Bonokeling. Pemilikan Kyai Kunci dilaksanakan di Bale Malang.

Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut!

1.   Apa yang kamu ketahui tentang anak putu trah Bonokeling?

2.   Apa peran Kyai Bonokeling di desa Pekuncen?

3.   Bagaimana cara pemilihan Kyai Kunci?

4.   Apa tugas Kyai Kunci?

B.      Tradisi Unggah-Unggahan Bonokeling

Kemajuan zaman tidak membuat anak putu trah Bonokeling melupakan tradisi yang sudah ada sejjak zaman nenek moyang. Tradisi budaya tersebut masih dijaga kelestariannya hingga saat ini. Salah satunya adalah tradisi Unggah-unggahan.

                        Tradisi Unggah-unggahan Bonokeling

Pada tanggal 11 Mei 2008, anak putu trah Bonokeling melaksanakan tradisi Unggah-unggahan. Unggah-unggahan merupakan tradisi yang dilaksanakan untuk menyambut bulan Ramadhan. Kata Unggahan berasal dari kata Unggah yang artinya naik. Jadi, unggahan pada tradisi ini artinya menaiki atau memasuki bulan Ramadhan. Tradisi Unggah-unggahan juga dikenal dengan nama Perlon. Tradisi ini merupakan bentuk silaturahmi dan doa bersama kepada leluhur sebelum bulan Ramadhan. Dalam tradisi ini, anak putu trah Bonokeling melakukan kegiatan ziarah dan membersihkan makam leluhur Bonokeling.

Sehari sebelum pelaksanaan tradisi Unggah-unggahan, anak putu trah Bonokeling yang tersebar dibeberapa wilayah berkumpul di Desa Pekuncen, Kecamatan jatilawang, Kabupeten Banyumas, mereka pergi ke Desa Pekuncen dengan berjalan kaki sambil membawa hasil bumi. Berjalan kaki dimaknai sebagai lambang keharmonisan antara manusia dengan alam. Hasil bumi yang dibawa nantinya akan dimakan selama pelaksanaan tradisi unggahan.

 

 

Kaum kali-laki anak putu trah Bonokeling memakai pakaian adat berupa baju hitam, kain jarit, dan ikat kepala atau blangkon. Sementara kaum perempuan mengenakan kain jarit dan kemban. Pakaian tersebut memiliki filosofi yang mencerminkan kehidupan sehari-hari. Blangkon melambangkan kerukunan antarwarga dalam menjaga tradisi Unggah-unggahan. Kain jarit melambangkan kesederhanaan. Ziarah makam leluhur Bonokeling dilakukan pada siang hari dimana kaum perempuan masukke makam Kiiai Bonokeling terlebih dahulu. Kaum laki-laki menyusul pada sore hari.

 

            Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini!

1.   Apa tujuan dilaksanakannya tradisi Unggah-unggahan?

2.   Di manakah tradisi Unggah-unggahan biasa dilaksanakan oleh anak putu trah Bonokeling?

3.   Siapa saja yang melaksanakan tradisi Unggah-unggahan?

4.   Tulislah makna filosofi pada pakaian yang dikenakan oleh kaum laki-laki!

 

Rangkuman

1.   Anak putu trah Bonokeling merupakan masyarakat keturunan Kyai Bonokeling yang menetap di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas.

2.   Kyai Bonokeling merupakan tokoh masyarakat yang menyebarkan agama islam di Banyumas bagian selatan.

3.   Saat ini, anak putu trah Bonokeling dipimpin oleh seorang Kyai Kunci.

4.   Anak putu trah Bonokeling melaksanakan tradisi Unggah-unggahan.

5.   Tradisi Unggah-unggahan merupakan tradisi likal yang dilaksanakan untuk menya,but bulan Ramadhan.

6.   Pada tradisi Unggah-unggahan, anak putu trah Bonokeling melakukan kegiatan ziarah ke makam Kyai Bonokeling.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar